PEREMPUAN DALAM IKLAN KOSMETIK
(Tinjauan Tentang Iklan Dari Sudut Pandang Feminis)
Oleh : Hendri Mahasiswa STT GKE Banjarmasin
Pendahuluan
Persaingan antarproduk dalam merebut pangsa
pasar makin hari tampak makin ketat. Bersaingnya produk- produk sejenis dalam
merebut hati calon pengguna makin ketat, mengingat berbagai produk terus bermunculan
demikian juga produk-produk perusahaan berkembang demikian pesat dengan tujuan
memenuhi keinginan serta selera pengguna. Produk kosmetika adalah bagian dari
perkembangan produk-produk yang dikembangkan. Karena itu, untuk memperoleh
pangsa pasar yang memadai, maka berbagai cara ditempuh, misalnya melalui iklan
televisi yang dilakukan secara menarik, gencar dan intens.
Dewasa ini banyak
sekali iklan yang menawarkan berbagai kemudahan untuk mendapatkan apa yang
diinginkan kebanyakan wanita pada umumnya.
Salah satunya adalah iklan kosmetik yang menampilkan wanita cantik yang
mulus, tinggi, putih, hidung mancung, bibir tipis dan lain sebagainya.
Keberadaan iklan menciptakan suatu gambaran baru masyarakat dalam menciptakan
image atau citra diri dari manusia itu sendiri baik perempuan atau laki-laki.
Keadaan inilah yang ingin kelompok soroti dalam perspektif feminis dalam
menilai suatu iklan khususnya iklan kosmetik yaitu sebagai berikut.
I. Perempuan Dalam Iklan Kosmetik
Tayangan-tayangan
iklan yang menarik menjadikan pikiran masyarakat tertuju pada produk yang telah
ditampilkan ataupun ditawarkan oleh produk iklan. Iklan memiliki pengaruh yang
sangat luar biasa terhadap audiens. Iklan adalah alat paling jitu untuk
memperkenalkan sebuah produk pada pengguna yang sebelumnya tidak tertarik
menjadi tertarik. Iklan sudah bukan barang baru lagi dalam pertelevisian
Indonesia. Bahkan iklan telah beranjak dari posisinya yang hanya “jualan”
menjadi bagian dari tontonan. Dengan durasi yang hanya beberapa saat menjadikan
iklan bagaikan sebuah drama pendek dengan berbagai tema romantis, komedi,
bahkan horor. Salah satu tayangan mendominasi layar kaca adalah iklan-iklan
kosmetik. Tidak terhitung banyaknya iklan yang mengangkat tema seputar wanita, mulai dari iklan shampo hingga iklan
deodoran dan produk kosmetik yang lain.
“Tampak
Seperti Sepuluh tahun lebih muda dengan Pond’s Age Miracle atau
untuk kulit tampak putih merona dan
bersinar”. Ini adalah salah satu
iklan yang nenawarkan kulit wajah yang putih dan bersinar hanya dengan
menggunakan salah satu produk kecantikan yaitu Pond’s. Tentu hal semacam ini
sangat membuat perempuan tergiur untuk menggunakannya demi mendapatkan kulit
yang putih dan bersinar seperti perempuan di dalam iklan tersebut. Standar
kecantikan telah diciptakan melalui iklan dan suatu paradigma baru dalam
kalangan masyarakat telah diciptakan. Banyaknya iklan yang berlabel whitening
menuntut perempuan untuk merasa perlu berjuang agar menjadi selangkah lebih
maju dari keberadaannya sekarang.
Manusia cenderung
meniru apa yang dilakukan oleh orang yang dianggap lebih darinya. Misalnya
dalam hal penggunaan kosmetik, pengguna cenderung meniru tokoh yang diidolakan
dalam hal kecantikan seperti artis sinetron yang cantik. Produsen harus mengetahui
tingkat aspirasi pengguna. Jika pengguna mempunyai aspirasi bahwa wanita itu
harus cantik dan anggun maka mereka akan mengikutinya. Demikian juga halnya
dengan iklan kosmetik, sabun atau lain sebagainya, dalam iklan tersebut,
perempuan cantik berkulit putih berbody seksi menjadi bintangnya. Perempuan-perempuan
dalam kategori itulah yang menjadi ikon dalam sebuah iklan. Seolah-olah kulit
putih nan mulus dari perempuan dalam iklan itu adalah representasi dari iklan
kosmetik atau produk yang dipromosikan itu.
Iklan kosmetika di televisi, pilihan rata-rata adalah
pemanfaatan bahasa tubuh perempuan yang berlebihan, bahkan terkesan cenderung
menonjolkan sensualitas untuk menarik perhatian calon pengguna. Sebenarnya,
pemanfaatan tubuh perempuan dalam iklan kosmetika itu sah-sah saja, mengingat
iklan kosmetika memang kebanyakan diperuntukkan bagi perempuan. Namun, menjadi
persoalan serius ketika penampilan bahasa tubuh perempuan yang terkesan sensual
tersebut justru lebih menonjol dari penampilan produknya itu sendiri. Pada akhirnya menimbulkan kesan bahwa bodi dan
eksploitasi dari tubuh perempuanlah yang
lebih utama dan menjadi “produk” unggulan. Orang menjadi menyenangi khususnya
laki-laki kepada iklan tersebut, bukan pada iklan utama (sabun, kosmetik atau
produk yang dipromosikan) tetapi kepada perempuan cantik yang menjadi model
dari iklan tersebut.
Seorang Tokoh bernama Cronin, dalam
iklan “yang dihubungkan dengan perempuan” cenderung bersifat tidak
refleksif dan dibangun berdasarkan konfigurasi perbedaan sosial yang
konvensional, yang dikenal luas dalam budaya popular, misalnya tanda “perempuan
cantik” (sebagai kulit putih dan kelas menengah ke atas) sebagai ikon kecantikan.[1] Ia
berpendapat bahwa iklan yang dikaitkan dengan perempuan cenderung untuk
bersifat “mengajari”. Ia menambahkan bahwa yang diajarkan iklan-iklan kosmetika
adalah pemaknaan tanda perempuan sebagai berkulit putih, kelas menengah atas
dan memiliki kecantikan yang ideal.[2]
II.
Dampak
Pemodelan Perempuan Dalam Iklan Bagi Masyarakat
Banyaknya iklan
kosmetik telah merekonstruksikan bagaimana citra perempuan di dalam masyarakat.
Oleh karena itu, ada beberapa implikasi iklan kosmetik bagi perempuan sebagai berikut:
·
Produk iklan kecantikan membawa dampak
yang buruk bagi perempuan karena mereka telah menciptakan suatu standar baru
bagi kecantikan. Standar yang ditetapkan adalah perempuan yang berambut lurus,
putih, hidung mancung, mempunyai tubuh yang tinggi dan lain-lain tetapi
bagaimana dengan perempuan yang berambut keriting, hitam, hidung pesek, pendek
apakah mereka dianggap sebagai perempuan jelek. Dengan demikian dampaknya akan
terasa kepada pihak yang tidak memiliki tubuh seperti perempuan di dalam iklan.
·
Produk kecantikan lain seperti iklan
sabun, deodorant, lotion dan lain-lain yang lebih menunjukan kemolekan tubuh;
menunjukan beberapa bagian-bagian sensitif perempuan seperti punggung, paha,
dada dan lain-lain. Ini menempatkan perempuan hanya sebagai objek fantasi
laki-laki, dengan kata lain bahwa
perempuan yang cantik akan disukai laki-laki.
·
Menurut Marianan Amiruddin yang mengutip
Elaine bahwa “sangat memperihatinkan bila perempuan-perempuan yang tidak bisa
mencapai wacana dominan tentang tubuh ideal membuat mereka terobsesi dan
memaksakan diri dengan berbagai upaya yang bahkan membahayakan mereka misalnya
mengenai warna kulit. Bagaimana mungkin kulit hitam bisa menjadi putih hanya
dengan kosmetik ? dari sisi lain hal ini secara tidak langsung adalah sebuah
pelecehan terhadap orang yang berkulit hitam. Terkadang dengan adanya perbedaan
warna kulit ini menimbulkan sikap yang membaggakan diri apabila tubuhnya ideal
dan merasa rendah diri apabila tidak mencapai suatu standar kecantikan. Dengan
adanya kelas karena warna kulit seperti diatas adalah karena adanya suatu
tuntutan modernitas yang memiliki hubungan dengan artikulasi material. Sehingga
dari artikulasi itu muncul dorongan-dorongan yang mengarah kepada tuntutan
substansial.[3]
III.
Dampak
Iklan Bagi Perempuan
Iklan
dikemas sedemikian rupa untuk menarik perhatian para pengguna produk, dan untuk
hal itu maka perempuan digunakan sebagai objek dan kecantikan menjadi standar
yang digunakan. Kita semua terpesona dengan kecantikkan.[4] Iklan-iklan
di media yang ditayangkan menciptakan banyak wanita yang cantik dan menarik dan
menjadikan lelaki sebagai pengukur kecantikan perempuan. Sehinggga para
perempuan yang menjadi pengguna menjadi terpengaruh untuk mencoba produk yang
ditawarkan dan menjadikan perempuan sebagai korban dari iklan. Banyak wanita
merasa bahwa dirinya kurang menarik karena mereka tidak dapat memiliki wajah
atau bentuk tubuh tertentu yang mereka idam-iadamkan seperti yang nampak pada
iklan yang ditayangkan. Karena hal ini maka banyak wanita melakukan berbagai
alternatif dan menghabiskan uang untuk membuat dirinya menarik dan cantik.
Iklan
sudah menjadikan banyak wanita lupa akan keberadaan dirinya dan apa yang ia
miliki. Suatu harapan baru muncul ketika iklan kosmetik menawarkan solusi mudah
untuk mendapatkan kecantikan melalui berbagai produknya. Inilah yang amat
disayangkan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa perempuan sendiripun mengakui
hal itu bahkan menggunakan berbagai produk itu. Hal ini hanya sebatas penjualan
produk tetapi dampak yang lebih parah lagi ketika perempuan yang sudah
dikonstruksikan oleh iklan mengenai kecantikan memakai hal itu untuk menilai
perempuan lain. Oleh karena itu, sikap menyudutkan biasa saja dilakukan oleh
laki-laki atau perempuan dalam memandang perempuan lain yang tidak sesuai
dengan karateristik kecantikan di dalam iklan. Berikut adalah dampak langsung
dari pemodelan perempuan dalam iklan produk kecantikan atau kosmetik :
·
Terbentuknya Pola Pikir Negatif Tentang
Standar Kecantikan
Standar
kecantikan yang dibentuk atau di hasilkan oleh iklan selalu di kategorikan
sebagai seorang yang berkulit putih, bertubuh langsing, berambut panjang dan
lurus. Ini menjadi masalah mengingat ada ras-ras tertentu yang keadaan fisiknya
sama-sekali berbanding terbalik dengan standar yang ditetapkan oleh iklan.
Misalnya gadis-gadis atau perempuan-perempuan dari antara saudara-saudara kita
di Indonesia bagian Timur atau daerah-daerah lain di belahan bumi ini yang
pasti memiliki warna kulit maupun bentuk fisik yang berbeda dari perempuan yang
ada dalam iklan. Apakah mereka harus dimarginalisasikan gara-gara standar
kecantikan yang di hasilkan oleh iklan-iklan dengan model-modelnya yang
berkulit putih, berambut lurus tersebut.
·
Perempuan Menjadi Lebih Konsumtif.
Perempuan adalah konsumen potensial sehingga
mereka manjadi sasaran empuk penawaran berbagai produk. Hal ini berakar pada
peran perempuan sebagai pengurus rumah tangga dan pemeliharaan kecantikan.
Perempuan harus membelanjakan semua kebutuhan rumah tangga, termasauk
kebutuahan-kebutuhan khas suami seperti roko, minuman, makanan kesukaan, atau
berabgai jenis pakaian.[5]
Gadis Arivia dalam Jurnal Perempuan (Yayasan Jurnal
Perempuan: 2003) di Indonesia, industri televisi sendiri belum berani mengangkat isu-isu
feminis di dalam programnya untuk meng-counter
sebuah iklan yang demikian deras terhadap perempuan. Yang terjadi justru sebaliknya karena industri televisi
yang amat padat modal yang tidak mungkin untuk diharapkan menyetop iklan-iklan
yang menyudutkan femininitas perempuan seperi produk pelembab tubuh sekaligus
memutihkan atau pembalut wanita sehari-hari, karena iklan inilah yang menjadi
darah segar bagi kelangsungan hidup industri ini.[6]
IV.
Penutup
Iklan produk kecantikan, baik di media elektronik, cetak maupun yang
terpampang dalam spanduk-spanduk, baleho di sudut-sudut jalan kota dan
sebagainya terlihat begitu sangat banyak, seperti iklan sabun, make-up,
lipstick, obat-obatan untuk melangsingkan tubuh dan produk yang lain. Iklan
dalam kategori itu pada umumnya menjadikan perempuan sebagai model, karena
memang hal itu kebanyakan diperuntukkan bagi kaum perempuan. Dewasa ini, kecantikan
seseorang sudah di atur oleh masyarakat sendiri, iklan yang kian
gencar-gencarnya nampaknya kian pula mengkontaminasi masyarakat untuk menilai
bahwa dikatakan cantik apabila seseorang memiliki kulit yang putih, tubuh yang
langsing, dada yang kencang, rambut yang hitam lurus dan panjang tidak rontok
seperti yang tersirat dalam iklan-iklan.
Kenyataan ini berdampak pada
rendahnya nilai seseorang, khususnya kaum perempuan sebab mereka pada umumnya
terjebak pada apa yang dinamakan kecantikan fisik atau secara lahiriah saja.
Tidak jarang pula banyak perempuan yang mengalami berbagai penyakit karena
mengejar ukuran itu. Bukankah ini suatu pembodohan? Apakah cantik hanya dilihat dari sisi fisik
saja?
Kecantikan bisa direfresentasikan
dengan bentuk-bentuk lain. Prestasi, kebaikan dan kerendahan hati,
kebijaksanaan dan banyak hal alamiah yang mungkin lebih bisa dikatakan sebagai
refresentasi dari kecantikan seorang perempuan.
Bahan Bacaan
Aquarini, Representasi Ras, Kelas, Femininitas, dan
Globalitas dalam iklan sabun, Yogyakarta: Jalasutra, 2003
Azis, Asmaeny Feminisme Profetik, Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 2007
Arivia, Gadis, dalam Jurnal Perempuan Yayasan Jurnal
Perempuan, 2003
Jakes, T.D. Hai Wanita Engkau Telah Bebas, Jakarta:
Imanuel, 2001
[1] Aquarini, Representasi Ras, Kelas, Femininitas, dan Globalitas dalam Iklan Sabun,
(Yogyakarta: Jalasutra, 2003) 51
[2] Ibit, 52
[3] Asmaeny Azis, Feminisme Profetik, (Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 2007) 147
[4] T.D. Jakes, Hai Wanita Engkau Telah Bebas, (Jakarta: Imanuel, 2001) 191
[5] Gadis Arivia dalam Jurnal Perempuan (Yayasan Jurnal Perempuan:
2003), 9-10
[6] Ibid, hal 121