Rabu, 13 November 2013

Perempuan Dalam Iklan Produk Kosmetik Menurut Sudut Pandang Feminis



PEREMPUAN DALAM IKLAN KOSMETIK
(Tinjauan Tentang Iklan Dari Sudut Pandang Feminis) 
Oleh : Hendri Mahasiswa STT GKE Banjarmasin

Pendahuluan
Persaingan antarproduk dalam merebut pangsa pasar makin hari tampak makin ketat. Bersaingnya produk- produk sejenis dalam merebut hati calon pengguna makin ketat, mengingat berbagai produk terus bermunculan demikian juga produk-produk perusahaan berkembang demikian pesat dengan tujuan memenuhi keinginan serta selera pengguna.  Produk kosmetika adalah bagian dari perkembangan produk-produk yang dikembangkan. Karena itu, untuk memperoleh pangsa pasar yang memadai, maka berbagai cara ditempuh, misalnya melalui iklan televisi yang dilakukan secara menarik, gencar dan intens.
Dewasa ini banyak sekali iklan yang menawarkan berbagai kemudahan untuk mendapatkan apa yang diinginkan kebanyakan wanita pada umumnya.  Salah satunya adalah iklan kosmetik yang menampilkan wanita cantik yang mulus, tinggi, putih, hidung mancung, bibir tipis dan lain sebagainya. Keberadaan iklan menciptakan suatu gambaran baru masyarakat dalam menciptakan image atau citra diri dari manusia itu sendiri baik perempuan atau laki-laki. Keadaan inilah yang ingin kelompok soroti dalam perspektif feminis dalam menilai suatu iklan khususnya iklan kosmetik yaitu sebagai berikut.
I.       Perempuan Dalam Iklan Kosmetik
Tayangan-tayangan iklan yang menarik menjadikan pikiran masyarakat tertuju pada produk yang telah ditampilkan ataupun ditawarkan oleh produk iklan. Iklan memiliki pengaruh yang sangat luar biasa terhadap audiens. Iklan adalah alat paling jitu untuk memperkenalkan sebuah produk pada pengguna yang sebelumnya tidak tertarik menjadi tertarik. Iklan sudah bukan barang baru lagi dalam pertelevisian Indonesia. Bahkan iklan telah beranjak dari posisinya yang hanya “jualan” menjadi bagian dari tontonan. Dengan durasi yang hanya beberapa saat menjadikan iklan bagaikan sebuah drama pendek dengan berbagai tema romantis, komedi, bahkan horor. Salah satu tayangan mendominasi layar kaca adalah iklan-iklan kosmetik. Tidak terhitung banyaknya iklan yang mengangkat tema seputar  wanita, mulai dari iklan shampo hingga iklan deodoran dan produk kosmetik yang lain.
“Tampak Seperti Sepuluh tahun lebih muda dengan Pond’s Age Miracle atau untuk kulit tampak putih merona dan bersinar”.  Ini adalah salah satu iklan yang nenawarkan kulit wajah yang putih dan bersinar hanya dengan menggunakan salah satu produk kecantikan yaitu Pond’s. Tentu hal semacam ini sangat membuat perempuan tergiur untuk menggunakannya demi mendapatkan kulit yang putih dan bersinar seperti perempuan di dalam iklan tersebut. Standar kecantikan telah diciptakan melalui iklan dan suatu paradigma baru dalam kalangan masyarakat telah diciptakan. Banyaknya iklan yang berlabel whitening menuntut perempuan untuk merasa perlu berjuang agar menjadi selangkah lebih maju dari keberadaannya sekarang.
 Manusia cenderung meniru apa yang dilakukan oleh orang yang dianggap lebih darinya. Misalnya dalam hal penggunaan kosmetik, pengguna cenderung meniru tokoh yang diidolakan dalam hal kecantikan seperti artis sinetron yang cantik. Produsen harus mengetahui tingkat aspirasi pengguna. Jika pengguna mempunyai aspirasi bahwa wanita itu harus cantik dan anggun maka mereka akan mengikutinya. Demikian juga halnya dengan iklan kosmetik, sabun atau lain sebagainya, dalam iklan tersebut, perempuan cantik berkulit putih berbody seksi menjadi bintangnya. Perempuan-perempuan dalam kategori itulah yang menjadi ikon dalam sebuah iklan. Seolah-olah kulit putih nan mulus dari perempuan dalam iklan itu adalah representasi dari iklan kosmetik atau produk yang dipromosikan itu.
Iklan kosmetika di televisi, pilihan rata-rata adalah pemanfaatan bahasa tubuh perempuan yang berlebihan, bahkan terkesan cenderung menonjolkan sensualitas untuk menarik perhatian calon pengguna. Sebenarnya, pemanfaatan tubuh perempuan dalam iklan kosmetika itu sah-sah saja, mengingat iklan kosmetika memang kebanyakan diperuntukkan bagi perempuan. Namun, menjadi persoalan serius ketika penampilan bahasa tubuh perempuan yang terkesan sensual tersebut justru lebih menonjol dari penampilan produknya itu sendiri.  Pada akhirnya menimbulkan kesan bahwa bodi dan eksploitasi dari tubuh  perempuanlah yang lebih utama dan menjadi “produk” unggulan. Orang menjadi menyenangi khususnya laki-laki kepada iklan tersebut, bukan pada iklan utama (sabun, kosmetik atau produk yang dipromosikan) tetapi kepada perempuan cantik yang menjadi model dari iklan tersebut.  
 Seorang Tokoh bernama Cronin,  dalam iklan “yang dihubungkan dengan perempuan” cenderung bersifat tidak refleksif dan dibangun berdasarkan konfigurasi perbedaan sosial yang konvensional, yang dikenal luas dalam budaya popular, misalnya tanda “perempuan cantik” (sebagai kulit putih dan kelas menengah ke atas) sebagai ikon kecantikan.[1] Ia berpendapat bahwa iklan yang dikaitkan dengan perempuan cenderung untuk bersifat “mengajari”. Ia menambahkan bahwa yang diajarkan iklan-iklan kosmetika adalah pemaknaan tanda perempuan sebagai berkulit putih, kelas menengah atas dan memiliki kecantikan yang ideal.[2]
II.                Dampak Pemodelan Perempuan Dalam Iklan Bagi Masyarakat
Banyaknya iklan kosmetik telah merekonstruksikan bagaimana citra perempuan di dalam masyarakat. Oleh karena itu, ada beberapa implikasi iklan kosmetik bagi perempuan sebagai berikut:
·         Produk iklan kecantikan membawa dampak yang buruk bagi perempuan karena mereka telah menciptakan suatu standar baru bagi kecantikan. Standar yang ditetapkan adalah perempuan yang berambut lurus, putih, hidung mancung, mempunyai tubuh yang tinggi dan lain-lain tetapi bagaimana dengan perempuan yang berambut keriting, hitam, hidung pesek, pendek apakah mereka dianggap sebagai perempuan jelek. Dengan demikian dampaknya akan terasa kepada pihak yang tidak memiliki tubuh seperti perempuan di dalam iklan.
·         Produk kecantikan lain seperti iklan sabun, deodorant, lotion dan lain-lain yang lebih menunjukan kemolekan tubuh; menunjukan beberapa bagian-bagian sensitif perempuan seperti punggung, paha, dada dan lain-lain. Ini menempatkan perempuan hanya sebagai objek fantasi laki-laki, dengan kata lain  bahwa perempuan yang cantik akan disukai laki-laki.
·         Menurut Marianan Amiruddin yang mengutip Elaine bahwa “sangat memperihatinkan bila perempuan-perempuan yang tidak bisa mencapai wacana dominan tentang tubuh ideal membuat mereka terobsesi dan memaksakan diri dengan berbagai upaya yang bahkan membahayakan mereka misalnya mengenai warna kulit. Bagaimana mungkin kulit hitam bisa menjadi putih hanya dengan kosmetik ? dari sisi lain hal ini secara tidak langsung adalah sebuah pelecehan terhadap orang yang berkulit hitam. Terkadang dengan adanya perbedaan warna kulit ini menimbulkan sikap yang membaggakan diri apabila tubuhnya ideal dan merasa rendah diri apabila tidak mencapai suatu standar kecantikan. Dengan adanya kelas karena warna kulit seperti diatas adalah karena adanya suatu tuntutan modernitas yang memiliki hubungan dengan artikulasi material. Sehingga dari artikulasi itu muncul dorongan-dorongan yang mengarah kepada tuntutan substansial.[3]
III.       Dampak Iklan Bagi Perempuan
Iklan dikemas sedemikian rupa untuk menarik perhatian para pengguna produk, dan untuk hal itu maka perempuan digunakan sebagai objek dan kecantikan menjadi standar yang digunakan. Kita semua terpesona dengan kecantikkan.[4] Iklan-iklan di media yang ditayangkan menciptakan banyak wanita yang cantik dan menarik dan menjadikan lelaki sebagai pengukur kecantikan perempuan. Sehinggga para perempuan yang menjadi pengguna menjadi terpengaruh untuk mencoba produk yang ditawarkan dan menjadikan perempuan sebagai korban dari iklan. Banyak wanita merasa bahwa dirinya kurang menarik karena mereka tidak dapat memiliki wajah atau bentuk tubuh tertentu yang mereka idam-iadamkan seperti yang nampak pada iklan yang ditayangkan. Karena hal ini maka banyak wanita melakukan berbagai alternatif dan menghabiskan uang untuk membuat dirinya menarik dan cantik.
Iklan sudah menjadikan banyak wanita lupa akan keberadaan dirinya dan apa yang ia miliki. Suatu harapan baru muncul ketika iklan kosmetik menawarkan solusi mudah untuk mendapatkan kecantikan melalui berbagai produknya. Inilah yang amat disayangkan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa perempuan sendiripun mengakui hal itu bahkan menggunakan berbagai produk itu. Hal ini hanya sebatas penjualan produk tetapi dampak yang lebih parah lagi ketika perempuan yang sudah dikonstruksikan oleh iklan mengenai kecantikan memakai hal itu untuk menilai perempuan lain. Oleh karena itu, sikap menyudutkan biasa saja dilakukan oleh laki-laki atau perempuan dalam memandang perempuan lain yang tidak sesuai dengan karateristik kecantikan di dalam iklan. Berikut adalah dampak langsung dari pemodelan perempuan dalam iklan produk kecantikan atau kosmetik :
·         Terbentuknya Pola Pikir Negatif Tentang Standar Kecantikan
Standar kecantikan yang dibentuk atau di hasilkan oleh iklan selalu di kategorikan sebagai seorang yang berkulit putih, bertubuh langsing, berambut panjang dan lurus. Ini menjadi masalah mengingat ada ras-ras tertentu yang keadaan fisiknya sama-sekali berbanding terbalik dengan standar yang ditetapkan oleh iklan. Misalnya gadis-gadis atau perempuan-perempuan dari antara saudara-saudara kita di Indonesia bagian Timur atau daerah-daerah lain di belahan bumi ini yang pasti memiliki warna kulit maupun bentuk fisik yang berbeda dari perempuan yang ada dalam iklan. Apakah mereka harus dimarginalisasikan gara-gara standar kecantikan yang di hasilkan oleh iklan-iklan dengan model-modelnya yang berkulit putih, berambut lurus tersebut.
·         Perempuan Menjadi Lebih Konsumtif.
    Perempuan adalah konsumen potensial sehingga mereka manjadi sasaran empuk penawaran berbagai produk. Hal ini berakar pada peran perempuan sebagai pengurus rumah tangga dan pemeliharaan kecantikan. Perempuan harus membelanjakan semua kebutuhan rumah tangga, termasauk kebutuahan-kebutuhan khas suami seperti roko, minuman, makanan kesukaan, atau berabgai jenis pakaian.[5]
Gadis Arivia dalam Jurnal Perempuan (Yayasan Jurnal Perempuan: 2003) di Indonesia, industri televisi  sendiri belum berani mengangkat isu-isu feminis di dalam programnya untuk meng-counter sebuah iklan yang demikian deras terhadap perempuan.             Yang terjadi justru sebaliknya karena industri televisi yang amat padat modal yang tidak mungkin untuk diharapkan menyetop iklan-iklan yang menyudutkan femininitas perempuan seperi produk pelembab tubuh sekaligus memutihkan atau pembalut wanita sehari-hari, karena iklan inilah yang menjadi darah segar bagi kelangsungan hidup industri ini.[6]

IV.             Penutup
Iklan produk kecantikan,  baik di media elektronik, cetak maupun yang terpampang dalam spanduk-spanduk, baleho di sudut-sudut jalan kota dan sebagainya terlihat begitu sangat banyak, seperti iklan sabun, make-up, lipstick, obat-obatan untuk melangsingkan tubuh dan produk yang lain. Iklan dalam kategori itu pada umumnya menjadikan perempuan sebagai model, karena memang hal itu kebanyakan diperuntukkan bagi kaum perempuan. Dewasa ini, kecantikan seseorang sudah di atur oleh masyarakat sendiri, iklan yang kian gencar-gencarnya nampaknya kian pula mengkontaminasi masyarakat untuk menilai bahwa dikatakan cantik apabila seseorang memiliki kulit yang putih, tubuh yang langsing, dada yang kencang, rambut yang hitam lurus dan panjang tidak rontok seperti yang tersirat dalam iklan-iklan.
Kenyataan ini berdampak pada rendahnya nilai seseorang, khususnya kaum perempuan sebab mereka pada umumnya terjebak pada apa yang dinamakan kecantikan fisik atau secara lahiriah saja. Tidak jarang pula banyak perempuan yang mengalami berbagai penyakit karena mengejar ukuran itu. Bukankah ini suatu pembodohan?  Apakah cantik hanya dilihat dari sisi fisik saja?
Kecantikan bisa direfresentasikan dengan bentuk-bentuk lain. Prestasi, kebaikan dan kerendahan hati, kebijaksanaan dan banyak hal alamiah yang mungkin lebih bisa dikatakan sebagai refresentasi dari kecantikan seorang perempuan.
























Bahan Bacaan
Aquarini, Representasi Ras, Kelas, Femininitas, dan Globalitas dalam iklan sabun, Yogyakarta: Jalasutra, 2003
Azis, Asmaeny Feminisme Profetik, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007
Arivia, Gadis, dalam Jurnal Perempuan Yayasan Jurnal Perempuan, 2003
Jakes, T.D. Hai Wanita Engkau Telah Bebas, Jakarta: Imanuel, 2001



[1] Aquarini, Representasi Ras, Kelas, Femininitas, dan Globalitas dalam Iklan Sabun, (Yogyakarta: Jalasutra, 2003) 51
[2] Ibit, 52
[3] Asmaeny Azis, Feminisme Profetik, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007) 147
[4] T.D. Jakes, Hai Wanita Engkau Telah Bebas, (Jakarta: Imanuel, 2001) 191
[5] Gadis Arivia dalam Jurnal Perempuan (Yayasan Jurnal Perempuan: 2003), 9-10

[6] Ibid, hal 121

Sabtu, 25 Mei 2013

Praktek Tengkulak Yang Kerap Meresahkan Petani Karet ( Tumbang Apat Case By Hendri STT GKE)



BAB I
PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini makin banyak dibicarakan perlunya pengaturan tentang perilaku bisnis terutama menjelang mekanisme pasar bebas. Dalam mekanisme pasar bebas diberi kebebasan luas kepada pelaku bisnis untuk melakukan kegiatan dan mengembangkan diri dalam pembangunan ekonomi. Disini pula pelaku bisnis dibiarkan bersaing untuk berkembang mengikuti mekanisme pasar serta pebisnis bebas menentukan bagaimana corak atau cara orang tersebut menekuni bisnisnya.
Pelanggaran etika bisnis didalam dunia dagang memang banyak, tetapi upaya untuk menegakan etika bisnis perlu digalakkan. Misalkan, pedagang atau seorang pengumpul karet hasil perkebunan rakyat tidak perlu berbuat curang untuk meraih keuntungan yang banyak, agar tidak terjadi pelanggaran etika berbisnis, ataupun melanggar peraturan yang berlaku. Pelanggaran etika bisnis yang akan dibahas dala tulisan ini adalah “Praktek Permainan Harga Oleh Tengkulak Dalam Proses Transaksi Jual Beli Karet Di Desa Tumbang Apat” dimana praktek bisnis yang dilakukan oleh para tengkulak tersebut sangat merugikan dan menghambat laju pertumbuhan kehidupan masyarakat Desa Tumbang Apat dari segi Ekonomi yang tentunya memberikan dampak buruk bagi aspek kehidupan mereka secara berkepanjangan.
A.    LATAR BELAKANG
            Keadaan  Penduduk Desa Tumbang Apat ,sampai akhir bulan Desmber 2012 tercatat sebanyak ± 432 Jiwa atau ±  141 KK.  Masyarakat Desa tumbang Apat, secara mayoritas memiliki mata pencaharian sebagai Petani, Pekebun Karet, dan memiliki potensi alam yang  kaya , misalnya dari sektor hutan serta meiliki Objek Wisata Rumah Betang serta air terjun yang berpotensi.[1]
            Desa Tumbang Apat sesuai keterangan diatas adalah sebuah desa dengan penduduknya mayoritas bermata pencaharian sebagai petani. Yang menjadi komoditas utama di Desa tersebut adalah kebun karet. Walaupun kebun karet yang dimiliki warga masih mayoritas karet lokal namun penghasilan karet dari Desa Tumbang Apat cukup banyak. Bisa mencapai 10-15 ton setiap bulannya. Jumlah ini memang cukup banyak banyak dengan melihat desa yang kecil serta jumlah penduduk yang relativ masih sedikit. Dengan demikian, yakni dengan cukup banyaknya hasil karet yang dihasilkan setiap bulannya maka sangat banyaklah pengusaha-pengusaha karet yang menginvestasikan modalnya kepada pengumpul-pengumpul karet yang ada di Desa maupun yang secara khusus datang dari Kecamatan untuk membeli karet di Tumbang Apat. Kehadiran para pengusaha karet yang menginvestasikan modalnya di desa itu seharusnya menjadikan masyarakat memiliki taraf ekonomi yang cukup baik atau paling tidak meningkatkan penghasilan masyarakat setempat.
B. GAMBARAN PROSES BISNIS DALAM TRANSAKSI JUAL- BELI
     KARET DI DESA TUMBANG APAT.
Pada umumnya masyarakat di Desa Tumbang Apat menjual hasil karetnya satu kali dalam satu bulan. Mereka menampung terlebih dahulu hasil pekerjaan mereka. Lalu pada saatnya mereka kemudian menjual hasilnya tersebut dengan caranya masing-masing, ada yang menjual karet hasil kebunnya secara bebas ada pula yang menjual dengan sistem terikat karena sudah mengambil uang atau barang ( berhutang ) kepada salah satu pengumpul karet di Desa tersebut. Berikut adalah uraiannya :
a.      Menjual Karet Dengan Sistem Bebas
Menjual bebas ini biasanya dilakukan oleh petani karet yang tidak terikat kepada salah satu bos atau yang biasa mereka sebut Tuke (pengumpul) didesa tersebut. Biasanya orang yang menjual bebas ini adalah seseorang yang sudah cukup mampu untuk mengendalikan hasil karetnya dan mampu mencukupi ongkos atau kebutuhan sehari-hari berupa sembako selama ia menyadap karet dan mengumpul hasilnya. Yang menjual bebas ini biasanya kepada orang-orang atau pembeli yang berasal dari Tumbang Lahung, Kecamatan Permata Intan, mereka ini biasanya membeli dengan harga yang lebih mahal daripada pengumpul-pengumpul yang ada didesa dan mereka ini datang setiap satu atau dua minggu sekali.
b.      Menjual Karet Dengan Sistem Terikat Kepada Tuke ( Pengumpul )
Menjual secara sistem terikat ini adalah hal yang paling banyak ditemui dalam sistem transaksi jual-beli karet di Desa Tumbang Apat. Penjualan ini biasanya dilakukan dalam sistem durasi, misalnya satu bulan atau dua bulan setiap kali bertimbang[2]. Menurut seorang warga desa tersebut ia menjual barang atau karet hasil kebunnya secara terikat karena ia sudah lebih dulu berutang bahan-bahan makanan dan keperluan hidup lainnya. Dengan demikian ia harus melunasinya dengan harus menjual hasil menyadap karet kepada pengumpul atau Tuke tersebut.[3] Namun dari seorang petani karet yang lain, penulis mendapat keterangan bahwa ia menjual karetnya secara terikat karena ia menyadap karet di kebun salah seorang Tuke atau pengumpul karet di Desa tersebut.[4] Memang kebiasaan di Desa Tumbang Apat setiap orang yang memiliki kebun karet dan mempekerjakan orang lain di kebun tersebut maka orang yang bekerja tersebut wajib untuk menjual hasilnya kepada si pemilik dengan durasi yang disepakati.
BAB II
PRAKTEK TENGKULAK DALAM JUAL BELI KARET DI DESA TUMBANG APAT
a.      Pengertian Tengkulak
Tengkulak adalah para pengumpul barang dagangan yang datang ke daerah-daerah penghasil. Misalnya daerah penghasil beras, buah-buahan, dan hasil bumi lainnya. Hasil barang dagangan yang dikumpulkan oleh para tengkulak itu ada yang dijual di pasar-pasar kepada pembeli-pembeli yang besar dan ada pula yang langsung kepada perusahaan atau ke pabrik komoditas hasil bumi yang dibeli tersebut.[5] Secara umum, tengkulak yang dimaksudkan penulis disini adalah mereka yang membeli dari pengumpul dikampung tersebut. Mereka tidak mau membeli kepada petani secara eceran.

b.      Praktek Tengkulak Dalam Penjualan Bebas
Didalam penjualan secara bebas ini sepertinya terlihat sedikit menguntungkan seorang petani. Karena ia boleh menjual karetnya kepada siapa saja ia mau dengan harga yang sesuai dengan harapannya. Tetapi yang terjadi adalah—sesuai pengalaman dan pengamatan penulis—karena penulis berasal dari Desa Tumbang Apat, pernah pada Tahun 2011 ketika harga karet naik secara signifikan di daerah Banjarmasin, karena penulis saat itu pulang liburan untuk ikut menyadap karet, harga pada saat itu mencapai Rp. 16000/kg di daerah Puruk Cahu, tetapi di Tumbang Apat harga karet masih paling tinggi berkisar Rp. 10.000/kg. Para pembeli dari luar maupun pengumpul yang ada dikampung tersebut tidak menaikan harga sama sekali. Penulis ketahui dari beberapa orang bahwa harga tidak mau dinaikan karena para pembeli dari luar pada saat itu sepakat ingin mendapatkan kumpulan karet dari dua orang petani bernama Maslan dan Durah yang lama tinggal dipedalaman (diladang yang sangat jauh dari desa) yang membawa karetnya dalam jumlah besar yaitu sekitar 8 ton. Mereka rupanya bersepakat untuk ingin membeli karet tersebut dengan harga yang murah walaupun didaerah lain sudah naik. Berhari-hari bahkan berminggu-minggu harga masih tetap stagnan disitu sampai akhirnya mereka bersepakat dengan kedua petani tersebut untuk membeli karet mereka dengan harga Rp. 12000/kg yang akhirnya dijual oleh kedua orang tersebut karena harus kembali keladang dengan segera. Setelah itu barulah harga karet ada kenaikan sedikit mencapai Rp. 15000/kg oleh pembeli dari luar yang membeli ke pengumpul. Namun harga tetap saja bagi barang petani yang terikat kepada salah satu pengumpul dikampung tersebut.

c.       Praktek Tengkulak Dalam Sistem Penjualan Terikat
Penjualan terikat ini maksudnya adalah bahwa petani-petani karet di desa tidak boleh lagi menjual barangnya kepada pembeli dari luar ataupun kepada pengumpul yang lain ia sudah terikat, bisa karena piutang bisa pula disebabkan karena ia menyadap karet milik si pengumpul. Jika pun ada diantara petani yang Menjual karetnya secara bebas, itu karena petani tersebut memiliki sangat banyak tabungan karetnya, bisa berton-ton. Sedangkan untuk petani yang kecil-kecilan tidak akan mereka beli dan diharuskan membeli kepada “anak buah” mereka yang menjadi pengumpul dikampung tersebut. Disinilah tempat harga dimainkan oleh pengumpul terhadap para petani. Umumnya ia mempiutangkan barang dagangan berupa sembako dengan harga yang sudah dinaikan karena alasan berhutang, kemudian yang menjadi jaminan dari hutang tersebut adalah karet hasil para petani dan tidak boleh dibayar dengan uang tunai. Harga karet ketika sampai kepada pengumpul tersebut sangat rendah apabila dibandingkan dengan harga yang seharusnya. Dalam kasus ini petani terpaksa menjual karet hasil pertaniannya dengan harga yang rendah sekali karena sudah terikat dengan pengumpul dalam hal piutang atau karena bekerja pada kebun pengumpul.

d.      Praktek Permainan ( Kecurangan )Melalui Timbangan Karet Petani
Umumnya dalam setiap penimbangan, berdasarkan pengalaman penulis para pembeli ini, baik pengumpul yang dikampung maupun pembeli-pembeli yang dari luar seperti dari Kecamatan Permata Intan selalu memberlakukan pemotongan berat sebagai kompensasi susut terhadap karet milik petani. Misalnya, ketika timbangan ada berat ganjilnya selalu tidak dihitung. Ada juga kasus lain, bahwa pernah didapatkan oleh petani, bhawa didalam dacing yang digunakan untuk menimbang karet petani tersebut ada benda-benda tertentu, misalnya paku dan raksa (cairan logam).
            Demikian gambaran realitas yang terjadi didalam transaksi jual-beli karet di Desa Tumbang Apat yang penulis sebutkan sebagai praktek tengkulak. Praktek tengkulak ini apabila dikerucut maka akan lebih menunjuk kepada “Permainan Harga” yang dilakukan oleh para pengumpul di desa dengan para pembeli dari luar yang merupakan boss dari pengumpul-pengumpul yang ada didesa. Praktek Permainan harga itulah yang akan kita tinjau dari segi Etika Bisnis dan konsep keetisan lainnya. Berikut adalah gambaran Teori-teori bisnis sebagai acuan untuk meninjau kejadian atau kasus diatas secara etis.


BAB III
PRINSIP-PRINSIP BERBISNIS MENURUT PERSFEKTIF ETIKA BISNIS
            Landasan Teori Etika Bisnis
            Etika Bisnis adalah penerapan prinsip-prinsip etika yang umum pada suatu wilayah perilaku manusia yang khusus, yaitu kegiatan ekonomi dan bisnis.[6] Dalam kegiatan ekonomi atau secara spesifik dikatakan bisnis, maka mesti ada standar-standar etika yang mesti diperhatikan oleh pelaku-pelakunya dan itu mesti dilakukan oleh setiap orang yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Bisnis merupakan kegiatan ekonomis. Yang terjadi dalam kegiatan ini adalah tukar-menukar, jual-beli, memproduksi-memasarkan, dan interaksi manusiawi lainnya dengan maksud memperoleh untung. Itu apabila ditinjau dari sudut pandang ekonomis.[7] Namun, ketika kita harus membicarakan tentang bisnis, kita juga mesti berbicara tentang etika didalamnya dan apabila sudah menyangkut etika maka prinsip-prinsip etis dalam bisnis harus diperhatikan salah satunya adalah prinsip keadilan. Mengapa demikian, sebab antara ekonomi dan keadilan terjalin hubungan yang erat.[8]  Dalam hal itu maka berikut adalah bebarapa prinsip-prinsip Bisnis menurut K. Bertens :
1.      Prinsip Kejujuran
Bisnis tidak akan bertahan lama apabila tidak berlandaskan kejujuran karena kejujuran merupakan kunci keberhasilan suatu bisnis (missal, kejujuran dalam pelaksanaan kontrak, kejujuran terhadap konsumen, kejujuran dalam hubungan kerja dan lain-lain.

2. Prinsip Keadilan
Bahwa tiap orang dalam berbisnis harus mendapat perlakuan yang sesuai dengan haknya masing-masing, artinya tidak ada yang boleh dirugikan haknya baik dari segi harga, kualitas barang maupun jaminan keamanan.
3. Prinsip Saling Menguntungkan
Agar semua pihak berusaha untuk saling menguntungkan termasuk antara produsen dan konsumen, demikian pula untuk berbisnis yang kompetitif.
4. Prinsip Integritas Moral
Prinsip ini merupakan dasar dalam berbisnis dimana para pelaku bisnis dalam menjalankan usaha bisnis mereka harus menjaga nama baik agar tetap dipercaya. Berikut adalah sebagian standar moral yang perlu dilakukan dalam praktek bisnis
·         Menghindari sifat tipu menipu[9] atau kongkalikong
·         Mampu menyatakan yang benar itu benar
·         Menumbuhkan sikap saling percaya dan timbal-balik antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha ke bawah.
Diatas adalah gambaran tentang teori Etika Bisnis dalam pandangan K. Bertens. Semua prinsip-prinsip diatas mesti diperhatikan dan dilakukan dalam pelaksanaan ketika melakukan transaksi ataupun proses bisnis. Teori-teori diatas akan menjadi penunjang bagi tulisan ini untuk menganalisa proses transaksi bisnis yang terjadi antara petani-petani karet di Desa Tumbang Apat dengan para pembeli-pembeli karet dan pengumpul yang ada di Desa itu yang penulis sebutkan sebagai Tengkulak.
BAB IV
TINJAUAN STUDI ETIKA BISNIS TERHADAP PRAKTEK TENGKULAK DALAM TRANSAKSI JUAL-BELI KARET ANTARA PETANI DAN TENGKULAK
            Didalam bagian penulis akan melakukan tinjauan etis terhadap proses bisnis yang berlangsung di Desa Tumbang Apat yang melibatkan petani-petani karet setempat dengan para pemngumpul dan pembeli karet yang penulis sebutkan sebagai tengkulak.
a.      Tinjauan Etis
Praktek tengkulak yang terjadi di Desa Tumbang Apat sepertinya tidak memberikan keadilan dari segi harga terhadap para petani. Mengapa demikian ? Masalah harga harus diakui memiliki mempunyai implikasi etis yang penting didalam kegiatan ekonomi. Harga merupakan buah hasil perhitungan dari faktor-faktor biaya produksi, investasi dan tentunya laba yang akan didapatkan oleh pelaku bisnis. Dalam masa modern ini harga yang adil dalah hasil penetapan dua hal, yakni : pengaruh pasar dan stabilitas harga[10]. Pengaruh pasar ini bisa dibandingkan dengan kegiatan tawar-menawar antara pembeli dan penjual sampai menemukan titik harga yang diantara kedua pihak tersebut saling menerimanya, jadi dalam hal ini harga akan dianggap adil apabila disetujui oleh semua pihak yang terlibat dalam proses pembentukannya. Yang berikutnya adalah stabilitas harga, dalam hal ini adalah tugas dari pemerintah untuk menetapkan dan mencari keseimbangan harga untuk pembentukan harga secara terbuka. Jadi semua orang bisa mengakses dan mengetahui standar harga yang diberlakukan sehingga kaum-kaum kecil maupun besar dapat menikmati harga yang seimbang. Tidak hanya menjadi sapi perah saja dengan kata lain : menjual barang produksinya dengan harga murah kemudian membeli kebutuhan hidupnya dengan harga sangat tinggi.
Memperhatikan itu, praktek yang terjadi didalam proses bisnis di Desa Tumbang Apat sama sekali jauh dari prinsip keadilan harga tersebut. Para petani yang sudah terikat barangnya dengan seorang pengumpul karet membeli kebutuhan hidupnya dengan harga yang tinggi karena sudah dinaikan oleh pedagang dengan alasan karena berhutang, sementara mereka harus menjual barangnya dengan harga yang telah diatur oleh para pengumpul dan para pembeli karet yang datang dari kota.
b.      Tengkulak Melanggar Etika Bisnis
Jadi dengan beberapa pemaparan diatas praktek transaksi para tengkulak tidak adil terhadap para petani. Bisa kita lihat dalam kajian teori Garret dan Klonoski[11] tentang ketidak adilan harga apabila terjadi ketiga hal berikut ini yang merupakan beberapa hal yang penulis dapati dari praktek transaksi antara para tengkulak dan petani karet di desa tersebut:
·         Penipuan
Ini terjadi bila beberapa pelaku bisnis yang dalam hal ini para pembeli hasil pertanian masyarakat berkolusi untuk menentukan harga (beberapa orang atau kelompok berkonspirasi untuk menentukan haraga). Ini melanggar prinsip pengaruh pasar dimana harga yang adil adalah harga kesepakatan antara pembeli dan penjual. Sedangkan dalam kasus ini penjual karet hanya mengikuti ketetapan harga yang dberlakukan oleh pengumpul serta membeli barang kebutuhan hidupnya dengan harga yang sudah ditetapkan sendiri pula oleh pedagang yang merangkap sebagai pembeli karet warga tersebut. Dalam hal ini penentuan harga telah ditentukan secara sembunyi-sembunyi oleh beberapa orang atau kelompok.
·         Ketidaktahuan
Ketidaktahuan pada pihak konsumen juga bisa mengakibatkan harga yang tidak adil. Transaksi jual-beli merupakan suatu persetujuan yang mengandalkan kebebasan kedua belah pihak yang terlibat didalamnya. Seorang konsumen tidak bebas membeli barang tertentu apabila ia tidak tahu faktor-faktor yang menentukan harga. Karena alasan inilah mudah terjadi praktek-praktek ketidak adilan yng dilakukan oleh tengkulak yang penulis sebutkan diatas dalam memainkan harga barang yang mereka jual kepada para petani. Misalnya : harga pahat ( alat untuk menyadap getah) diberitahukan kepada para petani bahwa menggunakan besi yang asli, karena itu harganya lebih mahal.
            Dengan melihat faktor-faktor diatas maka penulis menyimpulkan bahwa praktek tengkulak yang terjadi di Desa Tumbang Apat melanggar etika bisnis, diantaranya : prinsip keadilan dan prinsip saling menguntungkan. Para tengkulak menjual barangnya dengan harga yang tinggi kepada para petani tetapi membeli karet dari pada petani dengan harga rendah yang merupakan hasil konspirasi antara pengumpul di desa dengan para pembeli dari luar yang menjadi boss dari para pengumpul tersebut. Akibatnya ialah, para pengumpul semakin hari semakin kaya sementara para petani semakin sulit dalam kehidupannya tidak ada sama sekali dalam hal ini prinsip saling menguntungkan karena keuntungan hanya ada pada pihak pengumpul karet dan boss-boss mereka. Pelanggaran juga terjadi dengan tidak adanya tanggung jawab moral. Para tengkulak ingin untung sendiri dengan tidak berbelas asih terhadap para petani.
PENUTUP
( Refleksi dan Saran Penulis)
            Refleksi :
            Bisnis merupakan suatu unsur penting dalam kehidupan masyarakat. Hamper semua orang didunia ini terlibat didalamnya. Kita membeli barang atau jasa untuk bisa hidup dengan nyaman. Kita bekerja dan menjual hasil kerja kita, itu juga paling tidak agar kita bisa hidup lebih baik. Penulis setuju bila dikatakan bahwa bisnis adalah unsure yang mutlak didalam kehidupan manusia. Dengan demikian karena ia melibatkan manusia dalam sebuah kuantitas yang besar maka bisnis harus berlaku etis, harus ada standar etika didalamnya.  Jika direfleksikan secara Alkitabiah dalam hal ini penulis mengambil perbandingan dari Yehezkiel 46 : 16-18. Kita bisa melihat pesan yang tersirat bahwa hak orang banyak dilindungi dari penumpukan kekayaan oleh sebagian kecil orang saja. Praktek ketidakadilan sudah ditentang sejak dahulu kala oleh para Nabi. Misalnya Yesaya 5 : 8 “celakalah mereka yang menyerobot rumah demi rumah dan mencekau lading demi lading sehingga tidak ada lagi tempat bagi orang lain dan hanya kamu sendiri yang tinggal didalam negeri”. Atau seperti yang diteriakan oleh Nabi Amos “mereka menjual orang-orang benar karena uang, dan orang miskin karena sepasang kasut, mereka menginjak-injak kepala orang lemah kedalam debu dan membelokan jalan orang sengsara” ( Amos 2 :6-7).  Tuntutan Allah melalui kedua Nabi ini adalah mengenai keadilan dan kebenaran.[12] Tuntutan Allah ini jauh daripada tuntutan peraturan. Peraturan menuntut ketaatan legal dan formal. Ia tidak peduli dengan apapun yang dikatakan didalam hati. Tetapi tuntutan Allah lebih dari itu, sebab ia merupakan cermin dari suatu kesadaran didalam hati. Sebab tuntutan Allahg tidak hanya menyangkut yang legal tetapi yang etis. Yang mau dikatakan ialah, bisa saja orang melakukan suatu praktek bisnis yang dibenarkan secara legalitas tetapi belum tentu ia benar secara etis. Misalnya saja karena tidak diatur oleh Undang-Undang, para tengkulak tadi bisa saja memasang harga yang rendah untuk membeli karet petani namun memasang harga yang setinggi-tingginya terhadap barang kebutuhan pokok masyarakat berupa sembako yang dia jual. Kita pasti setuju bahwa praktik seperti itu tidak bisa dibenarkan secara etis. Apalagi bila seperti didalam kasus diatas tadi bahwa para petani yang tergolong miskin dan berkekurangan adalah sasaran atau yang menjadi korbannya. Perilaku bisnis memang seharusnya disesuaikan dengan standar moral. Apalagi bila yang berbisnis adalah umat Allah, jadikanlah bisnis itu sebagai upaya pelayanan dan kemuliaan bagi nama Tuhan.
Saran Penulis :
            Keadaan hidup para petani karet di Desa Tumbang Apat berbanding terbalik dengan jumlah karet yang mereka produksi setiap bulan. Mereka tetap miskin, sementara ada pihak-pihak yang menjadi kayak arena kerja mereka tersebut. Siapa yang salah ? Sulit menentukan jawabannya. Tetapi persoalan yang menjadi penyebab maraknya para tengkulak bisa menjadi sedikit acuan untuk melihat siapa pihak yang seharusnya bisa melindungi para petani di desa untuk menghindari praktek semacam itu. Mungkin pemerintah daerah, dengan kekuasaan yang dimiliki menetapkan standar harga karet didaerah sehingga harga tidak mudah dipermainkan oleh pihak-pihak yang haus kekayaan. Persoalan tengkulak memang merajai seluruh aspek ekonomi yang bersifat transaksi. Oleh karena itu, untuk melindungi hak-hak para petani adalah dengan cara menetapkan standar-standar harga dan kesadaran individu dari para pelaku bisnis tersebut terhadap prinsip-prinsip etika.



[1] Laporan Pertanggungjawaban Kepala Desa Tumbang Apat 2 Maret 2013 hal 2
[2] Bertimbang adalah istilah warga desa Tumbang Apat terhadap proses menjual Karet
[3] Ny. Ugur, Wawancara 10 Mei 2013
[4] Mangik, Wawancara 10 Mei 2013
[6] K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis ( Jakarta : KANISIUS, 2000) , hal 65
[7] Ibid 17
[8] Ibid 85
[9] Thomas M. Garret, Business Ethics, ( New Jersey : Englewood Cliffs : 1986 ) hal 3
[10] Bertens 242
[11] Ibid
[12] Eka Darmaputera, Bisnis, Ekonomi Dan Penatalayanan ( Jakarta : Gunung Mulia 2009) hal 58