BAB I
PENDAHULUAN
Akhir-akhir
ini makin banyak dibicarakan perlunya pengaturan tentang perilaku bisnis
terutama menjelang mekanisme pasar bebas. Dalam mekanisme pasar bebas diberi
kebebasan luas kepada pelaku bisnis untuk melakukan kegiatan dan mengembangkan
diri dalam pembangunan ekonomi. Disini pula pelaku bisnis dibiarkan bersaing
untuk berkembang mengikuti mekanisme pasar serta
pebisnis bebas menentukan bagaimana corak atau cara orang tersebut menekuni
bisnisnya.
Pelanggaran
etika bisnis didalam dunia dagang memang
banyak, tetapi upaya untuk menegakan etika bisnis perlu
digalakkan. Misalkan, pedagang atau seorang pengumpul
karet hasil perkebunan rakyat tidak perlu berbuat curang untuk
meraih keuntungan yang banyak, agar tidak terjadi pelanggaran etika berbisnis, ataupun melanggar peraturan
yang berlaku. Pelanggaran etika bisnis yang akan dibahas dala tulisan ini adalah “Praktek
Permainan Harga Oleh Tengkulak Dalam Proses Transaksi Jual Beli Karet Di Desa
Tumbang Apat” dimana praktek bisnis yang
dilakukan oleh para tengkulak tersebut sangat merugikan dan menghambat laju
pertumbuhan kehidupan masyarakat Desa Tumbang Apat dari segi Ekonomi yang
tentunya memberikan dampak buruk bagi aspek kehidupan mereka secara
berkepanjangan.
A. LATAR BELAKANG
Keadaan Penduduk Desa Tumbang Apat
,sampai akhir bulan Desmber 2012 tercatat sebanyak ± 432 Jiwa atau ± 141 KK. Masyarakat Desa tumbang Apat,
secara mayoritas memiliki mata pencaharian sebagai Petani, Pekebun Karet, dan
memiliki potensi alam yang kaya ,
misalnya dari sektor hutan serta meiliki Objek Wisata Rumah Betang serta air
terjun yang berpotensi.[1]
Desa Tumbang Apat sesuai keterangan diatas adalah sebuah
desa dengan penduduknya mayoritas bermata pencaharian sebagai petani. Yang
menjadi komoditas utama di Desa tersebut adalah kebun karet. Walaupun kebun
karet yang dimiliki warga masih mayoritas karet lokal namun penghasilan karet
dari Desa Tumbang Apat cukup banyak. Bisa mencapai 10-15 ton setiap bulannya.
Jumlah ini memang cukup banyak banyak dengan melihat desa yang kecil serta
jumlah penduduk yang relativ masih sedikit. Dengan demikian, yakni dengan cukup
banyaknya hasil karet yang dihasilkan setiap bulannya maka sangat banyaklah
pengusaha-pengusaha karet yang menginvestasikan modalnya kepada
pengumpul-pengumpul karet yang ada di Desa maupun yang secara khusus datang
dari Kecamatan untuk membeli karet di Tumbang Apat. Kehadiran para pengusaha
karet yang menginvestasikan modalnya di desa itu seharusnya menjadikan
masyarakat memiliki taraf ekonomi yang cukup baik atau paling tidak
meningkatkan penghasilan masyarakat setempat.
B. GAMBARAN PROSES BISNIS DALAM TRANSAKSI JUAL- BELI
KARET DI DESA TUMBANG APAT.
Pada umumnya
masyarakat di Desa Tumbang Apat menjual hasil karetnya satu kali dalam satu
bulan. Mereka menampung terlebih dahulu hasil pekerjaan mereka. Lalu pada
saatnya mereka kemudian menjual hasilnya tersebut dengan caranya masing-masing,
ada yang menjual karet hasil kebunnya secara bebas ada pula yang menjual dengan
sistem terikat karena sudah mengambil uang atau barang ( berhutang ) kepada
salah satu pengumpul karet di Desa tersebut. Berikut adalah uraiannya :
a. Menjual Karet Dengan Sistem Bebas
Menjual bebas ini biasanya dilakukan oleh petani karet yang tidak terikat
kepada salah satu bos atau yang biasa mereka sebut Tuke (pengumpul) didesa
tersebut. Biasanya orang yang menjual bebas ini adalah seseorang yang sudah
cukup mampu untuk mengendalikan hasil karetnya dan mampu mencukupi ongkos atau
kebutuhan sehari-hari berupa sembako selama ia menyadap karet dan mengumpul
hasilnya. Yang menjual bebas ini biasanya kepada orang-orang atau pembeli yang
berasal dari Tumbang Lahung, Kecamatan Permata Intan, mereka ini biasanya
membeli dengan harga yang lebih mahal daripada pengumpul-pengumpul yang ada
didesa dan mereka ini datang setiap satu atau dua minggu sekali.
b. Menjual Karet Dengan Sistem
Terikat Kepada Tuke ( Pengumpul )
Menjual secara sistem terikat ini adalah hal yang paling banyak ditemui
dalam sistem transaksi jual-beli karet di Desa Tumbang Apat. Penjualan ini
biasanya dilakukan dalam sistem durasi, misalnya satu bulan atau dua bulan
setiap kali bertimbang[2].
Menurut seorang warga desa tersebut ia menjual barang atau karet hasil kebunnya
secara terikat karena ia sudah lebih dulu berutang bahan-bahan makanan dan
keperluan hidup lainnya. Dengan demikian ia harus melunasinya dengan harus
menjual hasil menyadap karet kepada pengumpul atau Tuke tersebut.[3]
Namun dari seorang petani karet yang lain, penulis mendapat keterangan bahwa ia
menjual karetnya secara terikat karena ia menyadap karet di kebun salah seorang
Tuke atau pengumpul karet di Desa tersebut.[4]
Memang kebiasaan di Desa Tumbang Apat setiap orang yang memiliki kebun karet
dan mempekerjakan orang lain di kebun tersebut maka orang yang bekerja tersebut
wajib untuk menjual hasilnya kepada si pemilik dengan durasi yang disepakati.
BAB II
PRAKTEK TENGKULAK DALAM JUAL BELI KARET DI DESA TUMBANG APAT
a. Pengertian Tengkulak
Tengkulak
adalah para pengumpul barang dagangan yang datang ke daerah-daerah penghasil.
Misalnya daerah penghasil beras, buah-buahan, dan hasil bumi lainnya. Hasil
barang dagangan yang dikumpulkan oleh para tengkulak itu ada yang dijual di
pasar-pasar kepada pembeli-pembeli yang besar dan ada pula yang langsung kepada
perusahaan atau ke pabrik komoditas hasil bumi yang dibeli tersebut.[5]
Secara umum, tengkulak yang dimaksudkan penulis disini adalah mereka yang
membeli dari pengumpul dikampung tersebut. Mereka tidak mau membeli kepada
petani secara eceran.
b. Praktek Tengkulak Dalam
Penjualan Bebas
Didalam penjualan secara bebas ini sepertinya terlihat sedikit
menguntungkan seorang petani. Karena ia boleh menjual karetnya kepada siapa
saja ia mau dengan harga yang sesuai dengan harapannya. Tetapi yang terjadi
adalah—sesuai pengalaman dan pengamatan penulis—karena penulis berasal dari
Desa Tumbang Apat, pernah pada Tahun 2011 ketika harga karet naik secara
signifikan di daerah Banjarmasin, karena penulis saat itu pulang liburan untuk
ikut menyadap karet, harga pada saat itu mencapai Rp. 16000/kg di daerah Puruk
Cahu, tetapi di Tumbang Apat harga karet masih paling tinggi berkisar Rp.
10.000/kg. Para pembeli dari luar maupun pengumpul yang ada dikampung tersebut
tidak menaikan harga sama sekali. Penulis ketahui dari beberapa orang bahwa
harga tidak mau dinaikan karena para pembeli dari luar pada saat itu sepakat
ingin mendapatkan kumpulan karet dari dua orang petani bernama Maslan dan Durah
yang lama tinggal dipedalaman (diladang yang sangat jauh dari desa) yang
membawa karetnya dalam jumlah besar yaitu sekitar 8 ton. Mereka rupanya
bersepakat untuk ingin membeli karet tersebut dengan harga yang murah walaupun
didaerah lain sudah naik. Berhari-hari bahkan berminggu-minggu harga masih
tetap stagnan disitu sampai akhirnya mereka bersepakat dengan kedua petani
tersebut untuk membeli karet mereka dengan harga Rp. 12000/kg yang akhirnya
dijual oleh kedua orang tersebut karena harus kembali keladang dengan segera.
Setelah itu barulah harga karet ada kenaikan sedikit mencapai Rp. 15000/kg oleh
pembeli dari luar yang membeli ke pengumpul. Namun harga tetap saja bagi barang
petani yang terikat kepada salah satu pengumpul dikampung tersebut.
c. Praktek Tengkulak Dalam Sistem
Penjualan Terikat
Penjualan terikat ini maksudnya adalah bahwa petani-petani karet di desa
tidak boleh lagi menjual barangnya kepada pembeli dari luar ataupun kepada
pengumpul yang lain ia sudah terikat, bisa karena piutang bisa pula disebabkan
karena ia menyadap karet milik si pengumpul. Jika pun ada diantara petani yang
Menjual karetnya secara bebas, itu karena petani tersebut memiliki sangat
banyak tabungan karetnya, bisa berton-ton. Sedangkan untuk petani yang
kecil-kecilan tidak akan mereka beli dan diharuskan membeli kepada “anak buah”
mereka yang menjadi pengumpul dikampung tersebut. Disinilah tempat harga dimainkan
oleh pengumpul terhadap para petani. Umumnya ia mempiutangkan barang dagangan
berupa sembako dengan harga yang sudah dinaikan karena alasan berhutang,
kemudian yang menjadi jaminan dari hutang tersebut adalah karet hasil para
petani dan tidak boleh dibayar dengan uang tunai. Harga karet ketika sampai
kepada pengumpul tersebut sangat rendah apabila dibandingkan dengan harga yang
seharusnya. Dalam kasus ini petani terpaksa menjual karet hasil pertaniannya
dengan harga yang rendah sekali karena sudah terikat dengan pengumpul dalam hal
piutang atau karena bekerja pada kebun pengumpul.
d. Praktek Permainan ( Kecurangan
)Melalui Timbangan Karet Petani
Umumnya dalam setiap penimbangan, berdasarkan pengalaman penulis para
pembeli ini, baik pengumpul yang dikampung maupun pembeli-pembeli yang dari
luar seperti dari Kecamatan Permata Intan selalu memberlakukan pemotongan berat
sebagai kompensasi susut terhadap karet milik petani. Misalnya, ketika
timbangan ada berat ganjilnya selalu tidak dihitung. Ada juga kasus lain, bahwa
pernah didapatkan oleh petani, bhawa didalam dacing yang digunakan untuk
menimbang karet petani tersebut ada benda-benda tertentu, misalnya paku dan
raksa (cairan logam).
Demikian gambaran realitas yang terjadi didalam transaksi jual-beli karet
di Desa Tumbang Apat yang penulis sebutkan sebagai praktek tengkulak. Praktek
tengkulak ini apabila dikerucut maka akan lebih menunjuk kepada “Permainan
Harga” yang dilakukan oleh para pengumpul di desa dengan para pembeli dari luar
yang merupakan boss dari pengumpul-pengumpul yang ada didesa. Praktek Permainan
harga itulah yang akan kita tinjau dari segi Etika Bisnis dan konsep keetisan
lainnya. Berikut adalah gambaran Teori-teori bisnis sebagai acuan untuk
meninjau kejadian atau kasus diatas secara etis.
BAB III
PRINSIP-PRINSIP BERBISNIS MENURUT PERSFEKTIF
ETIKA BISNIS
Landasan
Teori Etika Bisnis
Etika Bisnis adalah
penerapan prinsip-prinsip etika yang umum pada suatu wilayah perilaku manusia
yang khusus, yaitu kegiatan ekonomi dan bisnis.[6]
Dalam kegiatan ekonomi atau secara spesifik dikatakan bisnis, maka mesti ada
standar-standar etika yang mesti diperhatikan oleh pelaku-pelakunya dan itu
mesti dilakukan oleh setiap orang yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Bisnis
merupakan kegiatan ekonomis. Yang terjadi dalam kegiatan ini adalah
tukar-menukar, jual-beli, memproduksi-memasarkan, dan interaksi manusiawi
lainnya dengan maksud memperoleh untung. Itu apabila ditinjau dari sudut
pandang ekonomis.[7] Namun, ketika kita harus
membicarakan tentang bisnis, kita juga mesti berbicara tentang etika didalamnya
dan apabila sudah menyangkut etika maka prinsip-prinsip etis dalam bisnis harus
diperhatikan salah satunya adalah prinsip keadilan. Mengapa demikian, sebab
antara ekonomi dan keadilan terjalin hubungan yang erat.[8]
Dalam hal itu maka berikut adalah
bebarapa prinsip-prinsip Bisnis menurut K. Bertens :
1.
Prinsip Kejujuran
Bisnis tidak
akan bertahan lama apabila tidak berlandaskan kejujuran karena kejujuran
merupakan kunci keberhasilan suatu bisnis (missal, kejujuran dalam pelaksanaan
kontrak, kejujuran terhadap konsumen, kejujuran dalam hubungan kerja dan
lain-lain.
2. Prinsip
Keadilan
Bahwa tiap
orang dalam berbisnis harus mendapat perlakuan yang sesuai dengan haknya
masing-masing, artinya tidak ada yang boleh dirugikan haknya baik dari segi harga, kualitas barang maupun jaminan keamanan.
3. Prinsip
Saling Menguntungkan
Agar semua
pihak berusaha untuk saling menguntungkan termasuk
antara produsen dan konsumen, demikian pula untuk berbisnis yang
kompetitif.
4. Prinsip
Integritas Moral
Prinsip ini
merupakan dasar dalam berbisnis dimana para pelaku bisnis dalam menjalankan
usaha bisnis mereka harus menjaga nama baik agar tetap dipercaya. Berikut adalah sebagian standar moral yang perlu dilakukan dalam
praktek bisnis
·
Mampu menyatakan yang benar itu
benar
·
Menumbuhkan sikap saling percaya dan timbal-balik antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha
ke bawah.
Diatas
adalah gambaran tentang teori Etika Bisnis dalam pandangan K. Bertens. Semua
prinsip-prinsip diatas mesti diperhatikan dan dilakukan dalam pelaksanaan
ketika melakukan transaksi ataupun proses bisnis. Teori-teori diatas akan
menjadi penunjang bagi tulisan ini untuk menganalisa proses transaksi bisnis
yang terjadi antara petani-petani karet di Desa Tumbang Apat dengan para
pembeli-pembeli karet dan pengumpul yang ada di Desa itu yang penulis sebutkan
sebagai Tengkulak.
BAB IV
TINJAUAN STUDI ETIKA BISNIS TERHADAP PRAKTEK
TENGKULAK DALAM TRANSAKSI JUAL-BELI KARET ANTARA PETANI DAN TENGKULAK
Didalam bagian penulis
akan melakukan tinjauan etis terhadap proses bisnis yang berlangsung di Desa
Tumbang Apat yang melibatkan petani-petani karet setempat dengan para
pemngumpul dan pembeli karet yang penulis sebutkan sebagai tengkulak.
a. Tinjauan Etis
Praktek tengkulak yang
terjadi di Desa Tumbang Apat sepertinya tidak memberikan keadilan dari segi
harga terhadap para petani. Mengapa demikian ? Masalah harga harus diakui
memiliki mempunyai implikasi etis yang penting didalam kegiatan ekonomi. Harga
merupakan buah hasil perhitungan dari faktor-faktor biaya produksi, investasi
dan tentunya laba yang akan didapatkan oleh pelaku bisnis. Dalam masa modern
ini harga yang adil dalah hasil penetapan dua hal, yakni : pengaruh pasar dan
stabilitas harga[10]. Pengaruh pasar ini bisa
dibandingkan dengan kegiatan tawar-menawar antara pembeli dan penjual sampai
menemukan titik harga yang diantara kedua pihak tersebut saling menerimanya,
jadi dalam hal ini harga akan dianggap adil apabila disetujui oleh semua pihak
yang terlibat dalam proses pembentukannya. Yang berikutnya adalah stabilitas
harga, dalam hal ini adalah tugas dari pemerintah untuk menetapkan dan mencari
keseimbangan harga untuk pembentukan harga secara terbuka. Jadi semua orang
bisa mengakses dan mengetahui standar harga yang diberlakukan sehingga
kaum-kaum kecil maupun besar dapat menikmati harga yang seimbang. Tidak hanya
menjadi sapi perah saja dengan kata lain : menjual barang produksinya dengan harga
murah kemudian membeli kebutuhan hidupnya dengan harga sangat tinggi.
Memperhatikan itu,
praktek yang terjadi didalam proses bisnis di Desa Tumbang Apat sama sekali
jauh dari prinsip keadilan harga tersebut. Para petani yang sudah terikat
barangnya dengan seorang pengumpul karet membeli kebutuhan hidupnya dengan
harga yang tinggi karena sudah dinaikan oleh pedagang dengan alasan karena
berhutang, sementara mereka harus menjual barangnya dengan harga yang telah
diatur oleh para pengumpul dan para pembeli karet yang datang dari kota.
b. Tengkulak Melanggar Etika Bisnis
Jadi dengan beberapa
pemaparan diatas praktek transaksi para tengkulak tidak adil terhadap para
petani. Bisa kita lihat dalam kajian teori Garret dan Klonoski[11]
tentang ketidak adilan harga apabila terjadi ketiga hal berikut ini yang
merupakan beberapa hal yang penulis dapati dari praktek transaksi antara para
tengkulak dan petani karet di desa tersebut:
·
Penipuan
Ini terjadi bila beberapa pelaku bisnis yang dalam hal ini para pembeli
hasil pertanian masyarakat berkolusi untuk menentukan harga (beberapa orang
atau kelompok berkonspirasi untuk menentukan haraga). Ini melanggar prinsip
pengaruh pasar dimana harga yang adil adalah harga kesepakatan antara pembeli
dan penjual. Sedangkan dalam kasus ini penjual karet hanya mengikuti ketetapan
harga yang dberlakukan oleh pengumpul serta membeli barang kebutuhan hidupnya
dengan harga yang sudah ditetapkan sendiri pula oleh pedagang yang merangkap
sebagai pembeli karet warga tersebut. Dalam hal ini penentuan harga telah
ditentukan secara sembunyi-sembunyi oleh beberapa orang atau kelompok.
·
Ketidaktahuan
Ketidaktahuan pada pihak konsumen juga bisa mengakibatkan harga yang
tidak adil. Transaksi jual-beli merupakan suatu persetujuan yang mengandalkan
kebebasan kedua belah pihak yang terlibat didalamnya. Seorang konsumen tidak
bebas membeli barang tertentu apabila ia tidak tahu faktor-faktor yang
menentukan harga. Karena alasan inilah mudah terjadi praktek-praktek ketidak
adilan yng dilakukan oleh tengkulak yang penulis sebutkan diatas dalam
memainkan harga barang yang mereka jual kepada para petani. Misalnya : harga
pahat ( alat untuk menyadap getah) diberitahukan kepada para petani bahwa
menggunakan besi yang asli, karena itu harganya lebih mahal.
Dengan melihat
faktor-faktor diatas maka penulis menyimpulkan bahwa praktek tengkulak yang
terjadi di Desa Tumbang Apat melanggar etika bisnis, diantaranya : prinsip
keadilan dan prinsip saling menguntungkan. Para tengkulak menjual barangnya
dengan harga yang tinggi kepada para petani tetapi membeli karet dari pada
petani dengan harga rendah yang merupakan hasil konspirasi antara pengumpul di
desa dengan para pembeli dari luar yang menjadi boss dari para pengumpul
tersebut. Akibatnya ialah, para pengumpul semakin hari semakin kaya sementara
para petani semakin sulit dalam kehidupannya tidak ada sama sekali dalam hal ini
prinsip saling menguntungkan karena keuntungan hanya ada pada pihak pengumpul
karet dan boss-boss mereka. Pelanggaran juga terjadi dengan tidak adanya
tanggung jawab moral. Para tengkulak ingin untung sendiri dengan tidak berbelas
asih terhadap para petani.
PENUTUP
( Refleksi dan Saran Penulis)
Refleksi :
Bisnis merupakan suatu
unsur penting dalam kehidupan masyarakat. Hamper semua orang didunia ini
terlibat didalamnya. Kita membeli barang atau jasa untuk bisa hidup dengan
nyaman. Kita bekerja dan menjual hasil kerja kita, itu juga paling tidak agar
kita bisa hidup lebih baik. Penulis setuju bila dikatakan bahwa bisnis adalah
unsure yang mutlak didalam kehidupan manusia. Dengan demikian karena ia
melibatkan manusia dalam sebuah kuantitas yang besar maka bisnis harus berlaku
etis, harus ada standar etika didalamnya. Jika direfleksikan secara Alkitabiah dalam hal
ini penulis mengambil perbandingan dari Yehezkiel 46 : 16-18. Kita bisa melihat
pesan yang tersirat bahwa hak orang banyak dilindungi dari penumpukan kekayaan
oleh sebagian kecil orang saja. Praktek ketidakadilan sudah ditentang sejak
dahulu kala oleh para Nabi. Misalnya Yesaya 5 : 8 “celakalah mereka yang menyerobot rumah demi rumah dan mencekau lading
demi lading sehingga tidak ada lagi tempat bagi orang lain dan hanya kamu
sendiri yang tinggal didalam negeri”. Atau seperti yang diteriakan oleh
Nabi Amos “mereka menjual orang-orang
benar karena uang, dan orang miskin karena sepasang kasut, mereka
menginjak-injak kepala orang lemah kedalam debu dan membelokan jalan orang
sengsara” ( Amos 2 :6-7). Tuntutan Allah melalui kedua Nabi ini adalah
mengenai keadilan dan kebenaran.[12]
Tuntutan Allah ini jauh daripada tuntutan peraturan. Peraturan menuntut
ketaatan legal dan formal. Ia tidak peduli dengan apapun yang dikatakan didalam
hati. Tetapi tuntutan Allah lebih dari itu, sebab ia merupakan cermin dari
suatu kesadaran didalam hati. Sebab tuntutan Allahg tidak hanya menyangkut yang
legal tetapi yang etis. Yang mau dikatakan ialah, bisa saja orang melakukan
suatu praktek bisnis yang dibenarkan secara legalitas tetapi belum tentu ia
benar secara etis. Misalnya saja karena tidak diatur oleh Undang-Undang, para
tengkulak tadi bisa saja memasang harga yang rendah untuk membeli karet petani
namun memasang harga yang setinggi-tingginya terhadap barang kebutuhan pokok
masyarakat berupa sembako yang dia jual. Kita pasti setuju bahwa praktik
seperti itu tidak bisa dibenarkan secara etis. Apalagi bila seperti didalam
kasus diatas tadi bahwa para petani yang tergolong miskin dan berkekurangan
adalah sasaran atau yang menjadi korbannya. Perilaku bisnis memang seharusnya
disesuaikan dengan standar moral. Apalagi bila yang berbisnis adalah umat
Allah, jadikanlah bisnis itu sebagai upaya pelayanan dan kemuliaan bagi nama
Tuhan.
Saran Penulis :
Keadaan hidup para
petani karet di Desa Tumbang Apat berbanding terbalik dengan jumlah karet yang
mereka produksi setiap bulan. Mereka tetap miskin, sementara ada pihak-pihak
yang menjadi kayak arena kerja mereka tersebut. Siapa yang salah ? Sulit
menentukan jawabannya. Tetapi persoalan yang menjadi penyebab maraknya para
tengkulak bisa menjadi sedikit acuan untuk melihat siapa pihak yang seharusnya
bisa melindungi para petani di desa untuk menghindari praktek semacam itu.
Mungkin pemerintah daerah, dengan kekuasaan yang dimiliki menetapkan standar
harga karet didaerah sehingga harga tidak mudah dipermainkan oleh pihak-pihak
yang haus kekayaan. Persoalan tengkulak memang merajai seluruh aspek ekonomi
yang bersifat transaksi. Oleh karena itu, untuk melindungi hak-hak para petani
adalah dengan cara menetapkan standar-standar harga dan kesadaran individu dari
para pelaku bisnis tersebut terhadap prinsip-prinsip etika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar